Sejarah Laundry


Sekarang ini, konsumen yang mendominasi usaha jasa laundry berasal dari kalangan Mahasiswa. Laundry Mahasiswa pertama kali muncul sekitar tahun 1998 di Yoyakarta. Laundry Mahasiswa yang bisa disebut perintis adalah Hanif Laundry di Wirobrajan dan IQ Laundry di Pogung. Bisnis ini mulai berkembang sekitar tahun 2002 – 2003. Saat itu, Hanif Laundry mencatat pelanggan tetap hingga 1.762 orang. Seiring dengan meluasnya kebiasaan Mahasiswa mencuci di Laundry, bisnis ini pun tumbuh seperti cendawan di musim hujan.
Kebiasaan mencuci di Laundry juga bisa menggambarkan perubahan gaya hidup di kalangan Mahasiswa yang merupakan anak kost. Ketika krisis ekonomi terjadi tahun 1997, Mahasiswa kost di Yogya dikenal sangat prihatin dan hemat. Jangankan untuk laundry, untuk makan sehari – hari saja mereka mengandalakan nasi angkringan atau nasi kucing. Seiring dengan membaiknya ekonomi nasional, kantong Mahasiswa pun kian meningkat sehingga bisa mengikuti gaya hidup. Selain laundry, mereka juga akrab dengan salon, kafe, dan klub.
Sementara di Jakarta, bisnis laundry dimulai dari Sungai Ciliwung. Sebagaimana artikel yang dimuat pada situs www.bangjabrix.wordpress.com, Sungai Ciliwung tidak selamanya menimbulkan penderitaan bagi penduduk Jakarta seperti terjadi pada masa sekarang ketika airnya menimbulkan banjir.
Dimasa lalu, Ciliwung memberikan banyak berkah bagi penduduk sekitar. Sungai ini, yang kini dijuluki Got Besar, sampai tahun 1960-an menjadi tempat ribuan penduduk untuk mandi, mencuci, mengambil wudhu, dan berbagai keperluan lainnya. Ribuan penduduk Jakarta, ketika sungai ini masih jernih dan lebat, menggantungkan kehidupannya darinya. Ada yang menjadi tukang perahu, pekerja eretan, dan tidak kurang banyaknya yang menjadi tukang binatu.
Untuk keperluan mencuci ini, pemerintah kolonial Belanda membangun tangga dari tembok, guna memudahkan warga bila ingin mandi ke sungai itu. Sementara itu kedua tepi sungai dibangun bandaran untuk meletakan pakaian.
Sampai akhir tahun 1950-an, masih banyak orang Betawi yang berprofesi sebagi tukang binatu, dari Jatinegara sampai ke daerah Jakarta Kota. Hingga ada nama jalan di Jakarta bernama Jalan petojo Binatu, Jakarta Pusat saking banyaknya orang yang berprofesi sebagai tukang binatu. Maklum ketika itu, rakyat umumnya belum mampu memelihara pembantu, kecuali orang – orang kaya di rumah – rumah gedung dan warga Belanda.
Di Kwitang, Jakarta Pusat, sampai awal 1960-an juga terdapat beberapa tukang binatu. Yang terkenal adalah Pak Acing, yang kala itu usianya sekitar 50 tahun dan bertubuh kekar. Sehabis shalat shubuh, Pak Acing sudah berendam di Ciliwung yang berdekatan dengan kediamannya. Tanpa merasa kedinginan, dia mencuci ratusan pakaian hingga pukul 09.00 pagi. Agar pakaian bersih, ia menggunakan bllauy pembersih berwarna biru yang kini sudah tidak ada lagi. Kala itu belum ada detergen seperti sekarang. Ia mencuci pakaian dengan sabun Tjap Tangan, sabun paling terkenal ketika itu. Setelah berendam dan membanting tenaga selama tiga atau empat jam di Ciliwung, Pak Acing, dibantu putranya, menjemur pakaian – pakaian yang telah dicucinya. Kala itu, di Jakarta banyak terdapat lapangan hingga tidak ada masalah untuk menjemur pakaian dalam jumlah besar.
Setelah beristirahat dan shalat dzuhur, tibalah melakukan pekerjaan yang lebih berat lagi. Dia mulai menyetrika pakaian – pakaian yang telah kering itu. Bukan menggunakan setrika listrik seperti sekarang, melainkan menggunakan setrika arang. Sambil memercikan air di pakaian, supaya licin, baju yang akan disetrika diberi tajin. Supaya bersih, baju diklentang dengan buah mengkudu. Yang menarik, pada pembuka dan penutup setrika untuk memasukan arang, terdapat lambang ayam jago yang sekarang ini mungkin sudah menjadi barang antik. Bahkan, artis Krisna Mukti menjadikannya sebagai koleksinya. Kembali pada Pak Acing, dia baru dapat menyelesaikan pekerjaannya menjelang maghrib. Keesokan harinya, rutinitas semacam itu terus dilakukan tanpa mengenal hari libur.

0 komentar:

Posting Komentar